MATARAM—Membakar lemak dan kalori dengan berolahraga mungkin bagi sebagian Ladies menjadi sebuah kebutuhan yang sangat menyenangkan. Ada beragam olahraga yang bisa dicicipi, salah satunya paralayang yang cukup menguras adrenalin.
Yuliana Agustina Ningsih, 30 tahun adalah salah satu Ladies yang menyukai olahraga tersebut. “Ada perasaan menyenangkan, menikmati keindahan ciptaan Allah SWT dari atas,” ujarnya, kemarin.

Dara kelahiran Dompu ini menyebut awal ketertarikan dengan dunia paralayang dimulai pada 2014 silam. Pertemuannya dengan perintis paralayang NTB Nanang Wirawan membawanya mengenal tim paralayang asal Rusia yang datang untuk menjelajahi kaldera Tambora saat itu.
“Aku melihat ada satu tim ceweknya, mahir banget paralayang, dari situ aku diajak buat coba dan langsung tertarik,” jelasnya.
Yuli termasuk Ladies yang menyukai tantangan. Sebelum bergelut di paralayang dirinya hilir mudik mendaki sejumlah gunung di Indonesia. Ia juga menjadi tour guide sehingga membuatnya tahu cara bertahan hidup di alam bebas.
“Alhamdulillah dapat pelajaran dari semua itu,” kata dia.
Dia berkecimpung di dunia paralayang selama hampir enam tahun. Tentu ada hal-hal menarik hingga menegangkan yang pernah dia rasakan. Beberapa kejuaraan yang diikuti seperti Yogyakarta Airshow 2015 dan 2016. Kejurda Batu Malang 2016 hingga Troi Mantar 2016.
Saking seriusnya ingin menjadi atlet paralayang, Ladies 31 tahun berjuang keras untuk mendapatkan lisensi. Syarat untuk mendapatkan itu berupa harus terbang selama 40 kali di tempat yang berbeda dilakukan Yuli.
Akhirnya pada 2016 tersebut, dirinya berhak memegang lisensi PL1 (Novice Pilot) dengan nomor Licence PG1600. “Ini berkat kerja keras dan dukungan semua teman-teman,” ujarnya.
Keuntungan dari lisensi ini, ada sebuah kartu keanggotaan legal yang membolehkan dirinya untuk bisa melakukan penerbangan paralayang. “Apabila kita belum punya lisensi maka kita tidak diperbolehkan untuk terbang,” tegasnya.
Yuli bukan hanya sekadar mahir bermain dengan olahraga parasut tersebut. Dia juga dipercaya menjadi mentor bagi beberapa atlet perempuan NTB di Kabupaten Lombok Tengah.
Berkat kegigihannya menyosialisasikan hingga mengajarkan paralayang, satu dari muridnya itu mendapatkan lisensi. “Alhamdulillah, inilah sumbangsih saya untuk NTB mengantarkan mereka sampai ke titik itu, sebuah kebanggaan bagi saya,” jelasnya.
Dikutip dari berbagai sumber, peralatan paralayang pada umumnya sangat ringan. Perlengkapan yang harus dibawa untuk untuk olahraga ini seperti parasut, harness, parasut cadangan dan helmet yang beratnya sekitar 10 hingga 15 kilogram.
Peralatan paralayang juga sangat praktis. Bisa dimasukkan ke ransel. Selain perlengkapan utama, ada juga cadangan. Antara lain variometer, radio atau HT, GPS, windmeter, peta lokasi terbang, dan lain-lain. Sedang perlengkapan pakaian penerbang antara lain baju terbang atau flight suit, sarung tangan, dan sepatu berleher tinggi atau boot.
Dalam paralayang, Yuli menyebut dirinya menemukan sesuatu yang sangat menyenangkan bahkan sangat aman. “Sebelum terbang, kami latihan ground handling dulu, menyiapkan semuanya,” kata dia.
Kendati menyenangkan, ada beberapa insiden tidak mengenakan yang pernah ia alami. Yang tidak akan pernah ia lupakan adalah saat sesi terbang di Lombok Tengah. Saat itu cuaca saat akan terbang memang bersahabat. Namun setelah beberapa lama di udara, suasana angin mulai berubah. Yuli kehilangan kendali dan tersangkut di pohon.
“Dipikirnya teman-teman, saya tuh udah nggak ada, karena pas kejadian kayak ada suara kebentur keras, tetapi Alhamdulillah, saya selamat,” terang Yuli.
Semua pengalaman berharga itu, jelas ia dapatkan dari paralayang. Namun masih ada saja yang mencibirnya. “Yang paling sering sih mereka sebut, kamu kan cewek, kenapa ikut olahraga kayak gini? Dan lain-lain,” ceritanya.
Menurutnya, siapapun berhak menentukan apa yang disukai. Termasuk hobi ekstrem tersebut. Perempuan memiliki pilihan untuk itu. Tidak ada batasan. “Kenapa harus mendiskriminasikan perempuan untuk mencoba olahraga ekstrem. Ini era modern, perempuan punya hak untuk memilih,” ujarnya.
Sosok perempuan menurutnya di samping memiliki sisi keibuan juga memiliki jiwa pemberani. Menyukai tantangan dan pantang menyerang. Karena itu, perempuan tidak boleh hanya duduk menjadi penonton. Harus beraksi.
“Jangan memandang sebelah mata, kontribusi perempuan juga banyak diberikan kepada negara ini,” tegasnya.
Tidak dipungkiri, anggapan atau streotip jika paralayang hanya cocok untuk kaum pria membuat peminatnya di kalangan perempuan memang masih sedikit. Ketika mencoba sekali saja, lalu mereka jatuh, itu bisa menimbulkan trauma. Dan hal ini memang tidak bisa dipaksakan.
“Tetapi itu jangan dibiarkan, karena menurut saya, paralayang juga bagus untuk perempuan, ada teman yang phobia ketinggian, masuk di olahraga ini jadi sembuh,” kata dia.
Selain itu, biaya juga menjadi salah satu kendala utama. Mengapa perempuan belum begitu tertarik. Untuk mendapatkan peralatan lengkap, seseorang harus merogoh kantong hingga 45 juta rupiah. “Second saja masih di rasa mahal, kita dapatnya bisa sampai 15 juta rupiah,” terang Yuli.
Dengan kendala semacam itu, seharusnya pemerintah bisa hadir. Menurutnya, prospek paralayang akan tetap berkembang seiring kemajuan zaman. Banyak orang sebenarnya mau melakoni olaharaga ini, jika pemerintah daerah mendukung untuk menyediakan peralatan. “Kejuaraannya juga banyak, jadi tidak akan sia-sia,” kata Yuli.
Pemprov NTB sebenarnya sangat mungkin mengembangkan pariwisata dengan menjadikan paralayang sebagai salah satu atraksinya. Bukan menjadikannya pada event-event tertentu saja. Kondisi alam NTB yang banyak perbukitan, ditambah dengan konndisi angin menjadi nilai tambah bagi olahraga ini.
“Di beberapa daerah seperti gunung banyak dan puncak sudah menjadikan paralayang sebagai ikon pariwisata, kalau mereka bisa, kenapa NTB tidak,” ucapnya.
Sebagai generasi paralayang, dirinya sudah siap ikut berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata paralayang di NTB. Apalagi saat ini dirinya sudah berlisensi. “Sekarang tinggal tergantung pemerintahnya saja,” tandasnya. (yun/r10)
