MATARAM-Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi NTB mendorong gubernur memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2021. Usulan ini terkait cara menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Pertimbangannya, aturan itu memiliki kepastian hukum turunan UU Cipta Kerja (UUCK) 2020. ”Kita Apindo berpikir kepastian hukum, bukan hitungan besar kecilnya naik upah. Kepastian hukum supaya investor juga bisa masuk,” kata Ketua Apindo NTB I Wayan Jaman Saputra.
Ia menegaskan Apindo dalam penetapan upah minimum tahun 2023 tetap pada PP 36 Tahun 2021. Pihaknya menolak Permenaker No 18 Tahun 2022. Menurutnya PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan merupakan amanat dari Pasal 88 Ayat (4) UU 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana telah diubah dalam bentuk UUCK. Ini pun sudah dibawa perkaranya hingga ke MK dan sudah ada putusannya sesuai Putusa MK No.91/PUU-XIX/2021 tanggal 3 November 2021. ”UUCK ini masih berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu dua tahun sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan,” jelasnya.
Dalam UUCK yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP 36 Tahun 2021 secara komprehensif kebijakan pengupahan. Termasuk formula penghitungan upah minimum juga tidak memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan penafsiran lain. ”Padahal sudah jelas PP 36/2021 belum dicabut, tetapi ada penerbitan Permenaker No 18 Tahun 2022 tanpa pembahasan dalam forum Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit Nasional,” sorotnya.
Ia menjelaskan Permenaker 18/2022 mengubah formula penetapan upah minimum yang telah diatur dalam PP36/2021. Dengan variable pertumbuhan ekonomi atau inflasi dengan formula yang menjumlah variabel inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang dikalikan dengan indeks tertentu. Mengubah waktu penetapan upah minimum provinsi yang seharusnya tanggal 21 November menjadi 28 November. Juga mengubah waktu penetapan UMK yang seharusnya tanggal 30 November menjadi 7 Desember. Disamping itu membuat pengaturan tambahan yang bertentangan dengan filosofi upah minimum dengan mengatur kriteria baru bagi penerima upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) dan (3) Permenaker 18/2022. ”Menurut kami Apindo kedudukan PP lebih tinggi dari Permen, sedangkan PP turunan dari UUCK, itu poinnya dari segi hukumnya,” terangnya.
Ketua PHRI NTB Ni Ketut Wolini mengatakan dampak nanti kenaikan untuk UMP 2023 sangat berat. Apalagi kondisi ekonomi belum pulih. Apalagi dipaksakan kenaikan UMP bila menggunakan Permenaker 18/2022 sebesar 10 persen. ”Dampaknya apa, ya pengurangan tenaga kerja, PHK, dan bisa menimbulkan merumahkan sementara karyawan,” terangnya.
Ditambah kenaikan BBM dan tarif listrik ukuran industri membuat biaya operasional membengkak. Sedangkan pihaknya cukup berisiko menaikkan tarif, dikarenakan daya beli menurun. ”Yang bisa kita olah nanti PHK atau merumahkan, solusinya ke sana bagi pengusaha hotel yang tidak mampu. Ini akan menimbulkan penambahan pengangguran,” tutur dia. (nur/r9)