MATARAM-Siapa yang tidak mengenal youtube? Laman berbagi video yang dimiliki Google ini ditonton hampir lima miliar orang setiap harinya. Salah satunya adalah para ibu.
”Kalau (saya) sedang masak, biasanya anak dikasih lihat youtube dulu. Biar ada temannya,” kata ibu rumah tangga Anindita Rizki Putri.

Dita pernah menempuh cara lain. Seperti memberi anak buku gambar dan pensil warna. Tapi anaknya seringkali tak betah. Merengek dan meminta untuk ditemani. Padahal di waktu bersamaan, dia harus mempersiapkan makanan dan membereskan rumah.
Dia kemudian memilih menyodorkan youtube. Ragam video di situs tersebut membuat anaknya bisa enjoy bermain sendirian.
Kata Dita, tidak semua konten video di youtube baik untuk anak. Banyak juga video yang berisi konten kekerasan hingga seksual. Karena itu, dia selalu menggunakan filter atau mode terbatas untuk tontonan anaknya.
”Kan bisa kita seting. Kalau sudah begitu, video yang keluar biasanya untuk anak-anak saja,” tuturnya.
Bagi Dita, video anak di youtube bukan sekadar untuk menenangkan anaknya. Tapi sekaligus sebagai media anaknya untuk belajar. ”Banyak itu video seperti itu. Misalnya soal nama hewan dalam bahasa Inggris, jadi sekalian belajar juga kan,” kata Dita.
Meski dinilai bisa menenangkan anak, pengawasan orang tua diperlukan ketika anak menonton youtube. Ketua LPA Mataram Joko Jumadi menyebut, tidak semua video anak di youtube baik untuk anak-anak.
Beberapa video, katanya, ada yang justru mengajarkan perilaku menyimpang. ”Walaupun isinya kartun, tetap orang tua itu harus mendampingi. Dengan mendampingi, orang tua juga bisa sekaligus memberi penjelasan, mana yang patut ditiru dan tidak patut,” kata Joko.
Sementara itu Koordinator Simpul Mataram PHI Home Schooler Indonesia Nuniks Indra Gayatri memberi atensi terhadap penggunaan gawai yang berlebihan pada anak. Orang tua, kata Nuniks, harus bisa menjadi raja dan ratu tega. Demi kebaikan anak-anak mereka.
”Sebelum umur empat tahun, kalau bisa jangan dikenalkan yang namanya ponsel itu. Sama sekali jangan,” tegas Nuniks.
Menurut dia, ketika anak telah berusia 5 tahun, gawai sudah boleh digunakan. Hanya saja dengan aturan ketat. Misalnya dengan memberi batasan waktu. ”Di umur lima tahun, anak sudah ngerti peraturan. Dikasih saja. Misal 20 menit maksimal sehari,” tuturnya.
Batasan waktu itu, disebut Nuniks sebagai screen timer. Semakin bertambah umur anak, screen timer bisa lebih lama. Tetapi tetap dengan batasan dan ketegasan orang tua.
Orang tua juga harus memberlakukan screenless day. Satu hari tidak menggunakan dan bersentuhan dengan gawai. ”Tapi misalnya pas hari libur, mereka bisa dapat pakai gawainya lebih lama,” terangnya.
Bagi Nuniks, orang tua memang harus tega untuk kebaikan anak. Apalagi jika melihat dampak penggunaan gawai yang berlebihan.
Ketika anak nangis hingga tantrum, orang tua jangan langsung luluh. Memilih mengalah dan memberikan gawai kepada anak. ”Nanti anak belajar kok. Belajar kalau ada aturan mengenai penggunaan gadget,” kata Nuniks yang memilih jalur homeschooling untuk anak-anaknya. (dit/r3)