MATARAM-Para terdakwa korupsi proyek pembangunan ICU RSUD Lombok Utara (KLU) menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram, Kamis (9/6). Mereka antara lain mantan Direktur RSUD KLU Samsul Hidayat, PPK E Bakri, rekanan dari PT Apro Megatama Darsito, dan konsultan pengawas dari CV Pandu Utama Sulaksono Darma Putra. Agendanya pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Surat dakwaan dibacakan secara bergiliran oleh tim JPU Budi Tridadi, Ema Muliawati, dan Fajar Alamsyah Malo. Dari pembacaan dakwaan itu muncul nama mantan Dirreskrimsus Polda NTB berinisial SB.

JPU Ema Muliawati membeberkan dakwaan mulai dari proses tender hingga pekerjaan proyek bermasalah. Disebutkan, ada empat perusahaan yang mengikuti tender, yaitu PT Apro Megatama dengan penawaran Rp 6,407 miliar; PT Intisar Berkah Globalindo Rp 6,373 miliar; PT Agung Serba Tulen Rp 6,253 miliar; dan PT Verbeck Mega Perkasa Rp 5,917 miliar. ”Tender dimenangkan PT Apro Megatama,” kata Ema Muliawati membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Sri Sulastri.
Namun muncul fakta yang mengajukan tender mengatasnamakan PT Apro Megatama bukanlah pemilik aslinya Amin Karaka. Melainkan Rahmat Hidayat yang merupakan suruhan dari Benny Burhanudin yang sebenarnya menjabat komisaris PT Profilda Sejahtera. ”Usai pengumuman lelang Benny dihubungi SB (mantan dirrekrimsus Polda NTB) yang saat itu bersama Lalu Majemuk (kepala ULP Pemda KLU),” terangnya.
Lalu Majemuk meminta Benny Burhanudin bertemu di Mataram. Namun Benny mengutus Rahmat Hidayat untuk bertemu. Saat pertemuan itu, Lalu Majemuk membawa seseorang bernama Syahid yang mengaku sebagai adik dari SB. ”Usai pertemuan itu, Lalu Majemuk dan Syahid bertemu Amin Karaka di Makassar, dengan tujuan pengambilalihan pengerjaan proyek,” bebernya.
Setelah pertemuan itu, Amin Karaka memberikan kuasa kepada Syahid untuk memegang paket proyek tersebut. ”Pemberian kuasa berdasarkan akta notaris,” kata JPU.
Atas kuasa itu, PPK H Zaeni (sebelum diganti E Bakri) melakukan penandatanganan kontrak dengan Syahid disaksikan Amin Karaka. Meski sudah diberikan kuasa kontrak proyek itu, namun yang menandatangani kontrak tetap menggunakan nama Amin Karaka. ”Tanda tangan Amin Karaka itu dipalsukan Syahid,” sebutnya.
Saat proyek dikerjakan, ditunjuk CV Cipta Pandu Utama sebagai konsultan pengawas dengan nilai kontrak Rp 98,7 juta. Namun hingga minggu ketujuh progres pekerjaan baru mencapai 4,1 persen dari target 15,5 persen. ”Karena prestasi pekerjaan yang buruk, Zaeni mengundurkan diri sebagai PPK,” jelas Ema.
Atas pengunduran diri itu, terdakwa Samsul Hidayat selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) mengangkat E Bakri sebagai PPK. Dilihat pekerjaan yang mengalami deviasi minus cukup tinggi, KPA meminta Syahid diganti menjadi kuasa dari PT Apro Megatama. ”Terdakwa Samsul Hidayat menunjuk Darsito (terdakwa) sebagai pengganti Syahid dengan dilakukan adendum (perubahan) kontrak,” bebernya.
Meski demikian pelaksanaan proyek tersebut tetap bermasalah. Hingga akhir pekerjaan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mencapai Rp 212 juta. ”Dari temuan itu, tim penyidik Kejati NTB melakukan pendalaman,” ujarnya.
Hasil audit Inspektorat NTB, ditemukan ada kelebihan pembayaran. Itu muncul dari progres pekerjaan yang tidak mencapai 100 persen, namun telah dibayar seluruhnya. Ada juga beberapa item proyek yang tidak sesuai spesifikasi. ”Dari audit yang dilakukan muncul kerugian negara Rp 1,57 miliar,” ujarnya.
Akibat perbuatannya, JPU mendakwa para terdakwa menggunakan pasal 2 dan atau pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (arl/r1)