KULINER sate khas Lombok bukan hanya sate Rembiga. Lombok juga punya beragam jenis sate. Salah satunya sate pusut yang mengedepankan sensasi pedas, tapi tetap enak dilahap.
—-

Sebelum siang, Endang harus sudah menyelesaikan pesanan lima ratus tusuk sate pusut yang siap dikirmkan ke pemesan di Pulau Sumbawa. Jika tidak, bisa-bisa ia akan ketinggalan bus, yang biasa dijadikan sebagai jalur pengiriman melalui darat.
Belum lagi ratusan tusuk sate lainnya yang akan dijual di warung miliknya. Termasuk sejumlah pelanggan yang menjadi resellernya sudah mengantre untuk diantarkan.
Endang merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang melanjutkan usaha warung aneka lauk pauk matang di sekitar Gerunung, Praya, Loteng. Siapa sangka warung yang dulunya menjual sayur mayur, kini digandrungi pelanggan setelah warung banting setir menyajikan sate pusut lusut dengan cita rasa yang khas.
Perempuan 47 tahun itu, ingat betul semasa kecil warung sayur mayur yang dikelola sang nenek juga ramai pengunjung. Namun karena menjual sayur-sayuran tentu semua barang tidak bisa bertahan cukup lama. “Papuq (nenek, red) putar otak, kenapa tidak jual sate pusut lusut,” ujarnya, kemarin (7/4).
Memilih sate pusut, kata Endang, sate ini merupakan hidangan sate khas Lombok yang mirip dengan sate lilit di daerah lain. Bahan dasarnya adalah daging sapi atau daging ayam yang digiling dan dicampur dengan kelapa parut serta berbagai bumbu. Kemudian, ia dililitkan ditusuk sate berbahan bambu yang ukurannya lebih besar dari tusuk sate pada umumnya. Serta berbentuk agak pipih.
“Jaman dulu, sate pusut hanya disajikan saat hari besar atau hajatan tertentu. Kini tidak lagi, sudah banyak ditemukan di berbagai warung, rumah makan bahkan banyak yang sudah menjualnya dalam bentuk kemasan,” terang ibu satu anak ini.
Keunikan dari warung sate pusut ini, terletak pula pada tahapan pembakaran sate. Pada bagian samping depan warung, Endang sengaja menjadikannya sebagai lokasi pembakaran sate. Tujuannya agar pembeli dapat melihat langsung proses pembakaran.
Satu per satu sate pusut yang sudah dililitkan, disematkan ke pelepah pisang. Setiap pelepah pisah ada tiga hingga lima tusuk sate yang ditancapkan. Hal ini memudahkan karyawan saat membolak-balikkan sate pusut.
Aroma daging dengan bumbu pedas yang wangi pun menyeruak. Asap pembakaran sate yang tertiup angin sontak masuk ke dalam warung. Membuat siapa saja yang menghirupnya mendadak lapar. Termasuk koran ini.
Endang mengaku tidak ada bumbu khusus atau resep rahasia. Bahan-bahan yang dipakai kebanyakan bahan dasar pada umumnya. Cita rasa yang berbeda diduga tergantung tangan siapa yang membuat. Begitu kata Endang dari pemikiran orang-orang.
“Sama saja bumbunya, mungkin tergantung tangan saja sama proses pembakaran, gak ada bumbu-bumbu rahasia,” tegasnya.
Namun ditegaskan Endang, dalam pemilihan bahan-bahan utama dan perbumbuan ia sendiri yang terjun langsung ke pasar. Tidak hanya daging ayam atau sapi yang dipilih masih segar, begitu juga bumbu termasuk cabai yang dipakai.
Endang bersyukur usaha yang sudah berjalan belasan tahun itu masih bisa berdiri. Di tengah-tengah maraknya persaingan pasar yang menjual produk serupa. Ia percaya setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tak akan pernah tertukar rezekinya. Selama ia terus berusaha dan ikhtiar. (ewi/r5)