DESA Sade dikenal sebagai salah satu desa yang memegang teguh adat budaya. Mulai dari perempuan yang wajib bisa menenun kain hingga budaya menikah dengan sepupu. Semua demi menjaga budaya dan tradisi leluhur.
—-
YANTI, gadis berkerudung hitam itu sudah bersiap di lapak miliknya menyambut tamu-tamu atau wisatawan yang datang ke Desa Adat Sasak Sade. Biasanya yang datang untuk melihat-lihat suasana desa yang terkenal masih tradisional atau mencari pernak-pernik dan aneka kain tenun khas Lombok.
Sejak pukul 08.00 Wita pagi, Yanti sudah menuju lapak yang tak jauh dari rumahnya. Rumahnya di lokasi Desa Adat itu juga. Satu per satu asesoris dirapikannya. Mulai dari gelang, kalung, topi, dompet dan tas yang dikombinasikan dengan kain tenun khas Lombok. Ia juga melipat dan menyusun kembali kain-kain tenun agar berjajar rapi.
Perempuan kelahiran 1999 itu, memilih melanjutkan usaha berjualan kain tenun milik sang ibu. Mau tidak mau harus dilakoni. Sebab, pantang bagi perempuan asli Dusun Sade keluar dari kampung.
“Tidak boleh kita keluar, harus lanjut di sini (berjualan dan menenun) bagi yang perempuan. Lain kalau laki-laki baru boleh,” ujarnya tersenyum sembari merapikan kain.
Sade dikenal masih kental dengan adat istiadatnya. Setiap perempuan diwajibkan harus bisa menyasak benang menjadi kain tenun. Sehingga wajar di kampung ini, tingkat pendidikan perempuan kebanyakan hingga lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. Tidak ada yang lanjut Sekolah Menengah Atas (SMA) apalagi mengenal namanya bangku kuliah di perguruan tinggi.
Yanti sebenarnya ingin juga bisa seperti remaja kebanyakan. Mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. Namun lagi-lagi terbentur adanya budaya dan istiadat dikampungnua. Risikonya besar!
“Kalau kita keluar dari desa ini, ibaratnya dianggap mati sudah. Tidak lagi jadi keluarga. Makanya tidak ada yang berani (apalagi perempuan) melanggar,” ungkapnya.
Jalan satu-satunya menyambung hidup, kata dia, melanjutkan usaha milik orang tua. Sekaligus menenun kain yang harus dilakoni sejak kecil.
Kata Yanti, untuk perempuan di Desa Sade pantang menikah jika belum bisa membuat kain tenunnya sendiri. “Iya tidak boleh nikah kalau belum bisa buat kain,” tambahnya.
Soal menikah pun ternyata tidak bisa sembarangan. Anggota Pokdarwis Desa Sade Sanah Ardinata mengatakan, dusun yang berlokasi di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Loteng ini merupakan salah satu desa yang masih kental dengan adat budaya pernikahan antar sepupu.
Nama Sade memiliki arti sadar. Sade sendiri merupakan perkampungan Suku Sasak, suku asli penduduk Pulau Lombok di NTB. Dengan luas sekitar 3 hektare, Desa Sade dihuni 150 rumah atau Kartu Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk sebanyak 700 orang yang masih satu garis keturunan.
“Di sini masih kawin antar sepupu. Tujuannya untuk semakin mempererat persaudaraan. Boleh dari luar kalau memang saling suka. Tapi mayoritas masih antarsepupu,” ujar dia.
Meski masih melakukan perkawinan antar sepupu, namun proses meminang gadis di desa ini rupanya tidak mudah dan cenderung kontroversial. Pasangan yang hendak melakukan pernikahan harus melakukan kawin lari. Sebab, dalam adat setempat, melamar adalah pelanggaran adat karena dianggap tidak sopan.
“Jadi dibawa lari dulu atas dasar suka sama suka. Baru kembali ke rumah dan memberitahu pihak orang tua,” kata bapak tiga anak ini.
Sementara kawin culik antar sepupu, sambung Amaq Sanah akrab disapa, semacam perjodohan meski harus menggunakan drama penculikan. Penculikan, pada praktiknya, pihak laki-laki akan membawa pihak perempuan di malam hari dan tidak boleh ketahuan oleh pihak keluarga selama 24 jam.
“Bila ketahuan ada denda adat. Kalau berhasil, ada pemberitahuan dari pihak laki-laki sebagai pemberitahuan bila anak perempuannya bukan hilang tapi mau diajak menikah,” terangnya.
Akan tetapi, anak perempuan di Desa Sade juga tidak bisa langsung menikah meski sudah dewasa. Adat setempat mewajibkan anak perempuan wajib bisa menenun baru diperbolehkan menikah.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, penduduk desa yang sudah memeluk agama Islam ini rupanya tidak membeli dari luar. Sebagian besar masyarakatnya memilih untuk bertani dan menenun.
Mayoritas laki-laki bertani dan perempuan membuat kerajinan tangan sebagai cinderamata. Sedangkan perempuan berumur lanjut kebanyakan melakukan kegiatan memintal benang.
“Panen kami di sini sekali dalam setahun. Tidak ada irigasi hanya mengandalkan hujan dan tidak di jual keluar. Untuk tambahan membuat tenun,” ujar Sanah. (lestari dewi/r5)