Pemprov NTB sebenarnya memiliki niatan untuk melakukan standarisasi harga kamar hotel untuk menyambut para penonton MotoGP di Mandalika. Namun niat ini baru sebatas upaya kajian dari Dinas Pariwisata (Dispar) NTB. ”Sedang kita diskusikan dengan beberapa pelaku usaha pariwisata,” kata Kepala Dispar NTB H Yusron Hadi.
Yusron mengatakan, pendapat dan masukan dari seluruh pelaku usaha pariwisata akan dihimpun. Kemudian diolah menjadi kebijakan terkait rencana standarisasi harga kamar hotel.
Hanya saja, kebijakan ini belum tentu mudah diterapkan. Ia menyebut, Dispar perlu menilai dari banyak sisi. Jangan sampai ikhtiar berupa kebijakan satu harga kamar hotel, justru merugikan pihak lain. Yang sama-sama memiliki kepentingan.
Sehingga Dispar tidak bisa langsung memutuskan. Perlu mendengarkan masukan secara komprehensif dari seluruh pihak. Termasuk melihat kondisi data dan fakta di lapangan.
”Yang pasti pemerintah harus hadir untuk mempersiapkan, bukan hanya soal harga kamar,” ujar Yusron.
Standarisasi harga kamar ini akan berlaku untuk homestay maupun hotel berbintang. Tujuannya untuk mendukung dan menyukseskan event internasional di NTB.
Mengenai harga kamar hotel yang naik, Yusron mengaku sudah ada yang menyampaikan informasinya ke Dispar. Selain itu, ada banyak hotel di satu pekan saat event MotoGP di Maret, sudah full booked.
”Artinya harga yang ditawarkan hotel, itu pengunjung siap (membeli),” ujarnya.
Pada Desember lalu, Dispar sempat melakukan rapat bersama sejumlah pelaku usaha perhotelan. Dari rapat tersebut, kata Yusron, pihak hotel menyebut harga kamar hotel hanya naik pada satu pekan saat MotoGP. Di luar event tersebut, pemasukan ke penginapan maupun usaha wisata minim. Kondisi ini turut menjadi pertimbangan Pemprov NTB untuk menerapkan kebijakan satu harga kamar hotel.
Kenaikan harga kamar hotel dipengaruhi juga hukum pasar. Dalam konteks MotoGP di NTB, ketersediaan kamar hotel sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penonton yang akan datang. Kondisi tersebut tentu membuat harga kamar hotel naik tinggi.
Terlepas dari itu, ia memastikan pemprov akan tetap mengupayakan hal terbaik untuk seluruh pihak. Mengawal agar iklim usaha tetap kondusif dan manfaatnya bisa dinikmati semua pihak.
”Yang begitu itu tidak mudah. Sehingga kita terus bangun komunikasi dengan teman-teman asosiasi hotel. Kita jalankan dulu, pasti kita kaji,” katanya.
Solusi Jangka Pendek
Pengamat pariwisata Taufan Rahmadi memberi jalan keluar jangka pendek. Pemerintah daerah kata dia, bisa menyiapkan solusi tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan konsep homestay berbasis rumah masyarakat (Hora).
Mengumpulkan hora sendiri tak susah pula. Bisa memaksimalkan kerja sama dengan para pemerintah desa. Pihak kabupaten dapat mengumpulkan seluruh desa. Misalnya, Lombok Barat memiliki sekitar 119 desa, Lombok Tengah 127 desa, dan Lombok Timur 239 desa. Dari tiga daerah ini saja sudah ada 485 desa. Jika satu desa diberi kuota rumah homestay alias Hora sebanyak 100 kamar, maka total sudah tersedia 48.500 kamar yang dapat dimanfaatkan wisatawan untuk menginap.
Jika satu wisatawan menginap minimal dua malam dengan tarif harga kamar Rp 200 ribu per malam, maka pemilik homestay sudah bisa mengantongi Rp 400 ribu hanya dari satu orang wisatawan. Jika dikalkulasi tarif kamar Rp 400 ribu dikalikan ketersediaan 48.500 kamar, pendapatan sekitar Rp 19,4 miliar dapat dikantongi secara total dari ketiga kabupaten tersebut.
“Ini bisa menggairahkan ekonomi dengan pendapatan masyarakat, pemerintah desa hingga penerimaan daerah kabupaten setempat,” tegasnya.
Jumlah ini pun baru didapatkan dari pendapatan sektor akomodasi. Belum termasuk kuliner, transportasi, oleh-oleh, paket tur ke berbagai destinasi dan sebagainya. Masyarakat desa setempat juga bisa menjadi pelaku usaha sektor ini. Misalnya saja kuliner dan suvenir dengan harga yang lebih terjangkau. Artinya, potensi pendapatan berkat MotoGP bisa jauh lebih besar lagi.
“Pariwisara untuk rakyat bisa segera terwujud lebih mudah,” katanya.
Saran lainnya, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan terkait batasan harga yang akan ditawarkan pada wisatawan selama MotoGP. Tak hanya bagi hotel, tapi juga seluruh pelaku industri pariwisata. Seperti transportasi, makanan dan restoran, oleh-oleh, dan masih banyak lagi. Jika tidak, dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan dampak jangka panjang. Yakni keengganan wisatawan berkunjung kembali ke NTB.
Batasan tersebut menentukan harga terendah dan tertinggi yang bisa ditentukan masing-masing sektor usaha. Atau masing-masing produk pariwisata. Tentu dengan mempertimbangkan klasifikasi dan pasar bisnisnya.
Pengusaha bersama instansi terkait beserta seluruh pihak di dalamnya juga bisa berunding. Menurutnya, pengusaha yang saat ini tengah mematangkan paket wisata maupun telah menentukan harga, tentu sudah melakukan analisa pasar. Sebab banyak yang menaruh harapan dari perhelatan MotoGP ini ampuh dijadikan momentum kembalinya tren bisnis sektor pariwisata.
Di samping itu, ketentuan batas terendah dan tertinggi harga-harga tersebut akan mempengaruhi pola dan tren kunjungan wisatawan ke NTB. Sebab pasar pun tentunya akan menemukan cara untuk survive, dan pelaku industri yang menuai dampaknya. Didorong keterbukaan digitalisasi untuk mengakses kebutuhan layanan dan jasa yang diinginkan sesuai budget. Sehingga pelayanan yang ditawarkan pun harus selalu bersaing. Bukan tak mungkin, pasar yang dibidik justru akan lebih memilih berbagai layanan dan jasa yang ada di luar daerah daripada NTB sendiri. Muaranya, perputaran ekonomi dalam daerah lah yang makin minim.
“Karena semua kembali pada perilaku pasar. Ada plus minusnya lah,” imbuhnya.
Selain itu, pemda dan instansi terkait bisa menyiapkan lahan kosong yang luas sebagai alternatif penginapan tambahan. Nantinya, para penonton juga bisa membawa sendiri tenda camping miliknya. Pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas-fasilitas penunjang seperti MCK portable, air bersih, pelayanan terpadu, tenda tambahan, dan lainnya. Entah itu disewa oleh pemerintah pada pelaku usaha, melalui bela pengadaan barang dan jasa, beker jasama dengan instansi yang memiliki peralatan tersebut, dan sebagainya.
“Beberapa kebutuhan seperti tenda, selimut, dan lainnya juga bisa dilakukan penarikan tarif yang terjangkau pada penonton. Ini bisa jadi sumber pemasukan juga,” saran Ketua Indonesian Congress and Convention Association NTB Muhammad Nurhaedin. (dit/eka/kus/r6)