JUMLAH penduduk Lombok Timur yang hidup dalam rumah tidak layak huni (RTLH) mencapai ratusan ribu orang. Di Dusun Merembuk, Desa Prapa, Kecamatan Aikmel, Inaq Ruhun adalah satu di antaranya.
—-
Dengan langkah yang sangat pelan, Inaq Ruhun, 70 tahun, keluar dari pondok kecil berdinding pagar. Sesekali ia memegang lutut yang mulai tak kuat menopang tubuhnya saat berjalan. Terkadang ia juga meringis. Mengatakan jika pergelangan kakinya terasa nyeri setelah berjalan.
Pondok kecil itu ia tinggali bersama suaminya. Sudah puluhan tahun di sana. Ada dua pondok di sana. Pondok pertama berukuran 3×5 meter. Atapnya dari genteng tanah yang sebagian ditutupi terpal. “Kalau hujan bocor,” kata Inaq Ruhun saat dikunjungi Lombok Post.
Pondok kedua berukuran lebih kecil dengan kondisi yang hampir sama. Kalau hujan besar, keduanya bocor. Saat itu terjadi, Inaq Ruhun akan mengungsi ke rumah beratap seng berdinding pagar milik anaknya. Rumah itu tak jauh dari pondok kecil Inaq Ruhun.
“Mau bagaimana lagi, tidak ada tempat dan tidak ada daya untuk tinggal di tempat yang lebih baik,” tambahnya.
Pernah terpikir untuk berutang, namun dengan apa ia akan melunasi utang tersebut. Dia dan suaminya sudah tak kuat bekerja. Anak-anaknya juga tidak dalam kondisi sejahtera.
Ada yang merantau, menjadi buruh tani, dan kerja serabutan. Mereka selalu datang untuk memberi bantuan berupa makanan dan sedikit belanja padanya. Tapi tidak lebih dari itu. Tak bisa untuk membangun tempat tinggal yang lebih layak dari saat ini.
Pondok itu memang jauh dari kata layak untuk dihuni. Di dalam memang cukup tertata rapi. Tapi semua jadi satu. Lantainya tanah. Dapur dan ranjang berdekatan. Jika memasak akan panas, jika tak ada api di tungku ruangan itu akan terasa sangat lembab dan membuat Inaq Ruhun lebih nyaman duduk santai di teras rumahnya dari pada di dalam. “Ini dulu bekas kandang sapi. Tapi karena pondok sebelah atapnya sudah terlalu rusak, saya pindah ke sini. Sapi juga sudah habis saya jual buat biaya anak ke Malaysia dan menikah,” terangnya.
Soal kehidupan sehari-hari, Inaq Ruhun masih sangat terbantu. Menantunya, anak-anaknya, dan keluarga juga warga di sekitarnya selalu mengulurkan tangan. Ada yang memberikan beras, ada yang memberikan lauk, dan kebutuhan lainnya.
Ia sudah cukup tenang dan bahagia. Namun Inaq Ruhun tak kuasa menyeka air matanya saat membayangkan tempat tidur yang lebih nyaman. (fatih/r5)