Selasa, 28 Maret 2023
Selasa, 28 Maret 2023

Menyoal Pengetahuan dalam Penanganan Covid-19 Menghadapi New Normal

OLEH : Azhari Evendi Dosen Prodi Sosiologi Universitas Mataram, Ketua LabSosio Unram

KASUS covid-19 sudah lebih dari empat bulan berjalan sejak kasus pertama, tanda-tanda penurunan belum juga terlihat. Prediksi para ahli terancam gagal, usaha-usaha pemerintah melalui program stimulus ekonomi dan bantuan sosial lainnya belum mampu mengatasi dampak ekonomi dan sosial covid-19. Sebaliknya yang terjadi adalah, kasus semakin bertambah masyarakat semakin mengentengkan, jangankan new normal dengan aturan ketat sesuai protokol kesehatan.

Masyarakat malah lebih cenderung memaknai new normal sebagai sudah biasa dengan situasi ini, tidak dalam arti memahami bahaya covid-19, tetapi buat apa takut covid-19. Buat apa takut pada covid-19 menunjukkan bahwa tidak ada masalah hidup seperti biasa atau dengan kata lain usaha-usaha yang dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Atau belum sampai pada level pengetahuan, apalagi pada pemahaman. Seberapa penting pengetahuan dan pemahaman?

Coba kita telusuri ke abad filsafat modern, kata Descartes (1596-1650), “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada). Ungkapan tersebut dapat dimaknai, keberadaan manusia ditentukan oleh daya pikir dan kekayaan pengetahuannya sebagai prasyarat  bagaimana dia berada.  Secara sederhana bisa dipahami aku berada, aku berperilaku, aku mengambil keputusan, sesuai dengan apa yang aku ketahui.

Artinya jika kita tidak mengetahui apa-apa, mustahil kita melakukannya, pengetahuan yang kita miliki menjadi petunjuk atau kemudi perilaku kita. Sebaliknya, jika tidak ada pengetahuan maka tidak ada petunjuk. Sehingga, mustahil masyarakat mengikuti anjuran protokol kesehatan, aturan new normal jika mereka tidak mengetahui atau memahami aturan-aturan tersebut. Aliran ini yang disebut eksistensialisme, yaitu hakikat manusia berkaitan dengan keberadaannya.

Pandangan tersebut memperoleh legitimasi ilmu pengetahuan terutama ahli ilmu sosial dan sosiologi. Misalkan Karl Manheim ataupun Peter L. Berger. Karl Manheim menyetujui bahwa kita hidup bukan diruang hampa, tetapi pada ruang yang penuh dinamika sehingga perubahan itu pasti terjadi cepat atau lambat. Namun seringkali perubahan itu gagal akibat masalah-masalah di lingkungan sosial budaya masyarakat tersebut berada. Apalagi perubahan yang diperlukan ritmenya sangat cepat, seperti revolusi.

Pandemi covid-19 ini adalah salah satu bentuk perubahan sejenis revolusi yang menuntut kecepatan tinggi dalam beradaptasi terhadapnya. Dalam beberapa bulan saja, berbagai jenis kebijakan dibuat sedemikian rupa demi mengikuti ritme perubahan. Dalam kondisi seperti itu peluang kegagalannya tinggi. Karena perubahan yang bersifat cepat selalu menelan korban yang lebih banyak daripada perubahan yang bersifat lambat seperti evolusi.

Baca Juga :  Ini Dia Strategi Pengelola Bioskop Kembali Eksis di Era New Normal

Pada pandemi covid-19 ini berbeda dengan revolusi-revolusi yang pernah terjadi, karena penyebab perubahan bukan digerakkan oleh manusia berdasarkan permusuhan seperti perang. Perubahan yang dibutuhkan saat ini lebih utama pada pengetahuan dan kesadaran, bukan pada penguatan fisik semata sehingga yang diperlukan adalah upaya memberikan pemahaman atau edukasi yang merata agar masyarakat dapat menjalani aturan-aturan protokol kesehatan dan new normal dengan penuh kesadara,  karena yang mejadi masalah utama kita saat ini adalah masalah kesadaran akibat tidak utuhnya pengetahuan kita mengenai covid-19.

Tentu saja, kegagalan membangun pemahaman berpotensi besar mengaibatkan gagal dalam menyelesaikan masalah covid-19. Kembali ke Manheim, menurutnya kegagalan itu disebabkan oleh tiga hal yait; pertama, esksistensi norma kuno. Kedua, adanya nilai yang mutlak yang tidak menerima nilai lain. Ketiga, penggunaan bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak lagi mampu memahami realitas saat ini.

Pertanyaanya, sudahkan kita berusaha memasuki tiga ruang masalah tersebut melakukan usaha untuk memberikan pemahaman bahwa kita berada di era dimana pemahaman yang tidak relevan perlu diganti atau ditransformasi demi keselamatan kita bersama? Jika sudah, mengapa kasus covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan menurun?, jika belum, maka perlu diperhatikan secara khusus bagaimana memaksimalkan sumber daya untuk mempercepat pemahaman masyarakat apalagi kita memasuki era new normal, suatu era yang akan dimenangkan oleh orang yang paling cepat melakukan adaptasi.

Era new normal bisa menjadi masalah baru yang mengancam banyak orang, karena hanya kalanagan tertentu saja yang dapat melakukan adaptasi dengan cepat. Sebut saja mereka yang memiliki sumber daya baik pengetahuan maupun materi.

Jika dibiarkan, sebagian masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk dapat bertahan di era new normal, ada gap pengetahuan antara kalangan tertentu (sebut saja elite) dengan kelompok lainnya (sebut saja masyarakat). Gap pengetahuan ini harus segera diatasi untuk mengurangi korban persaingan era new normal. Mau tidak mau, membanguan pengetahuan dan pemahaman menjadi sangat perlu dilakukan.

Baca Juga :  Bersiap New Normal, Lombok Barat Segera Buka Destinasi Wisata

Lantas, bagaimana cara pengetahuan itu memasuki ranah pemahaman? Berger menjelaskan dengan triad dialektika yaitu eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Dengan ketiga cara tersebut, konstruksi sosial bisa dilakukan sehingga gap pengetahuan antara elite dengan masyarakat, antara masyarakat kota dengan masyarakat desa, generasi tua dengan generasi milenial, antara melek huruf dengan buta huruf, antara melek teknologi dengan gagap teknologi bisa dijembatani.

Dengan seperti itu, pemahaman tentang covid-19 tidak hanya berada di kepala pemerintah, kepala para ahli, kepala para elite saja tetapi terdistribusikan juga ke masyarakat biasa, masyarakat awam dan masyarakat yang buta huruf dan gagap teknologi.

Triad dialektika tersebut melibatkan banyak orang, baik sebagai individu maupun lembaga. Dalam hal penanganan covid-19 ini, penekanannya pada persoalan lembaga, yaitu tanggungjawab bersama yang menempatkan negara sebagai kekuatan otoritatif . Sehingga pengentasan masalah ini juga menggunakan pendekatan-pendekatan kelembagaan.

Di dalam lembaga atau organisasi, terdapat wewenang yang diberikan oleh masyarakat karena kelebihan atas pengetahuan yang dimiliki. Posisi ini yang memiliki otoritas, otoritas atas distribusi kekuasaan, pengetahuan dan lain sebagainya dalam bentuk perintah, mengajari, memimpin doa dan lain sebagainya.

Misalkan masyarakat lokal yang masih kuat sistem sosial budayanya menempatkan tokoh lokal sebagai pemegang otoritas tradisional. Pada masyarakat tersebut, mereka lebih mudah mengikuti tokoh tradisional dari pada tokoh formal. Anjuran pemerintah yang disampaikan melalui televisi maupun media informasi lainnya tidak berdampak signifikan pada masyarakat.

Menurut pengamatan saya, itu terjadi karena tokoh lokal kehilangan peran (lebih tepatnya kurang diperankan) dalam penanganan covid-19 dan adaptasi new normal, sehingga distribusi pengetahuan kurang diterima dengan baik oleh masyarakat. Selain itu, nilai-nilai budaya yang kita miliki tidak dimanfaatkan sebagai instrument edukasi covid-19, penanganan covid-19 diperlukan solidaritas bersama yang sebenarnya ada pada nilai-nilai lokal kita seperti besiru saling tolong-menolong agar bisa selamat bersama tanpa pandang suku, agama, ras, kelas sosial, penduduk kota maupun kota dan tanpa diskriminasi. (*)

Berita Terbaru

Paling Sering Dibaca

Enable Notifications OK No thanks