Berawal dari obrolan ringan di grup WhatsUp tentang sejumlah nukilan sejarah Lombok, kopi darat ini digelar. Minggu 12 September 2021 sejumlah anggota Lombok Heritage and Science Society (LHSS) kembali menggelar ekskursi. Kali ini menapak tilas sejumlah situs tua peninggalan Dinasti Mataram.
——————————
Sesuai kesepakatan, meeting point telah ditentukan. Berangkat bersama dari Bundaran Bandara Selaparang pukul 09.00 pagi. Minggu pagi yang cerah di arena Car Free Day Udayana. Obronal ringan dibuka sembari menunggu peserta lain tiba.
Sesuai rencana tujuan pertama ekskursi kali ini adalah Pura Linggasana Rembiga. Di antara rombongan, hanya Gigih dan Widya yang pernah ke tempat ini, sedangkan anggota lainya belum sama sekali. Bahkan beberapa anggota lainnya mengaku baru tahu jika ada Pura di Rembiga. Maklum tak banyak yang tau, berabad lalu Rembiga pernah memiliki perkampungan Hindu.
Lokasi Pura arah timur perkampungan padat Rembiga. Posisinya dari jauh dari bantaran Kokok Midang. Kiri kananya adalah rumah penduduk, bahkan tembok batas sebelah selatanya adalah komplek perumahan.
Yang tersisa kini bangunan Pura berdiri di atas tanah kurang lebih 3 are dengan tembok bata 1,5 meter di sekelilingnya. Aneka tumbuhan subur di sekitar Pura. Sebuah pohon tua dibungkus kain poleng kokoh di samping pintu masuk. Posturnya yang rindang menjulang seperti penjaga yang mengucapkan salam bagi pendatang.

Di dalam Pura terdapat tiga area yang dipisah dengan tembok bata. Area pertama adalah halaman Pura (Jaba Pura). Kawasan ini kerap difungsikan sebagai balai pertemuan. Kedua, sebuah kawasan dengan sumber mata air atau Beji yang merupakan tempat pensucian, dan yang ketiga adalah kawasan inti atau Jeroan Pura.
Di Jeroan Pura ini terdapat sedikitnya lima Pelinggih Pengayengan, ada Majapahit, Gunung Rinjani, Batu Bolong, Lingsar, dan Gunung Pangsung. Bergeser ke pojok selatan, terdapat lorong serupa goa dengan panjang ke dalam sekitar 7 meter.
Di bagian atas mulut goa terdapat ornamen patung Garuda Wisnu mengawasi setiap orang yang hendak masuk ke dalam. Di ujung goa terdapat tempat pemujaan dengan aneka sesajen, dan tepat di belakang tempat pemujaan itu, terdapat celah dengan mata air yang melimpah.
Dalam naungan rimbun pohon, suasana Pura sangat demikian hening. Arca-arca berlumut, tembok yang melapuk kecoklatan membuat pura ini seperti mesin waktu yang membawa pulang ke masa lalu.
Belum ada literatur resmi kami temukan terkait asal usul Pura itu, kapan dibangun dan siapa yang membangun, pemangku yang biasanya mengelola Pura pun tidak kami jumpai. Namun cerita lisan turun temurun menyebut ini adalah bagian dari tinggalan Kerajaan Karangasem Sasak dari awal abad 19.
I Gde Parimarta yang mengutip Eck dalam Lombok Abad XIX, menyebut, tahun 1824 ketika Kerajaan Karangasem Bali diserang oleh Buleleng. Raja Karangasem I Gusti Lanang Karangasem menyingkir ke Lombok.
Prof.Dr.AA Gde Putra Agung dalam Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, menyebut pemilihan Rembiga sebagai tempat pelarian bukan tanpa alasan. Saat itu adiknya perempuannya I Gusti Ayu Karang (Cokorda) adalah penguasa Kerajaan Karangasem Sasak yang berpusat di Cakranegara. Dialah yang memberi Gusti Lanang tempat di Rembiga. Catatan ini menyebut Rembiga sebagai desa di sebelah utara istana Karangasem Sasak di Cakranegara.
Tidak berselang lama, Gusti Lanang berhasil merebut kembali istananya dari tangan Raja Buleleng, I Gusti Pahang. Namun, nasib berkata lain. Tahun 1827, intrik politik membuat Lanang kembali tersingkir dari singgasana atas tuduhan perbuatan tercela.
Ia kembali menyingkir ke Rembiga dan tahtanya telah diambil oleh sepupunya, I Gusti Bagus Karang. Di Rembiga, Gusti Lanang Karangasem membangun pemukiman bersama pengikut setianya.
Pada 1837, Gusti Lanang berusaha membujuk adiknya raja Karangasem Sasak, Cokorda untuk membantu merebut kembali tahtanya di Karangasem Bali. Namun Cokorda tidak bersedia membantu.
Karena kesal, Lanang akhirnya mencoba menggulingkan sang adik dari singgasana. Ia membujuk Raja Mataram, Anak Agung Ketut agar bersedia membantunya melawan Cokorda.
Raja Mataram yang memang sejak awal menyimpan dendam pada Karangasem Sasak menyanggupi usulan Lanang. Maka, pada 1837 meletus lah perang saudara. Dengan bantuan Mataram, Lanang menyerang saudaranya, Cokorda, Raja Karangasem Sasak di Cakranegara.
Pada babak pertama perang saudara ini, Gusti Lanang tewas. Perlawanannya terhadap Cokorda dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Ida Ratu.
Kelak sejarah mencatat, Mataram keluar sebagai pemenang perang saudara yang melelahkan itu. Anak Gusti Lanang, Ida Ratu sempat naik tahta menjadi raja di Karangasem Sasak. Namun kuasa itu tak lama. Intrik perebutan tahta berlanjut hingga akhirnya riwayat Ida Ratu dan Karangasem Sasak berakhir di tangan Mataram.
Sepertinya, sejak kedatangan pertama Gusti Lanang di tahun 1824, Rembiga ini telah menjelma menjadi permukiman Bali. Keberadaan Pura Linggasana menjadi penanda.
Sembari meneliti sudut-sudut Pura, kami berdiskusi tentang banyak hal. Termasuk tentang pasang surut hubungan Rembiga-Mataram-Cakra. Intrik politik perebutan kuasa yang diselesaikan lewat perang saudara.

Pura Gunung Sari
Segar mata air Pura Linggasana mengantar rombongan menuju Pura Gunung Sari. Sebenarnya jarak dari Pura Linggasana dengan Pura Gunung Sari tidak lah terlalu jauh. Terpisah dua sungai, Kokok Midang dan Meninting. Karena itu tak sampai 10 menit, kami telah tiba di lokasi kedua.
Lokasi pertama yang kami datangi adalah Pura Indra Loka. Meskipun terpisah dengan Pura Gunung Sari, kami menyakini, Pura Indra Loka ini awalnya adalah satu kesatuan dengan Pura Gunung Sari.
Berbekal foto lawas tahun dari tahun 1895, kami mencoba mencocokan keadaan Pura Indra Loka dengan keadaanya yang sekarang. Foto di akhir Perang Lombok itu menggambarkan sebuah kolam luas dengan tempat pemujaan di tengahnya. Mirip kolam Taman Mayura Cakra.
Sempat terjadi perdebatan, namun akhirnya kami berkesimpulan, lokasi kolam luas dalam foto lawas tersebut adalah Pura Indra Loka kini. Pura yang kini terkepung komplek perumahan.
Selanjutnya, kami beralih ke Pura Gunung Sari, jaraknya hanya sepelemparan batu dari Pura Indra Loka. Pelataran Pura Gunung Sari cukup luas, di kiri kanan Pura tumbuh pohon berbagai ukuran. Sepertinya sebagian pohon ini datang dari abad-abad lalu.
Masuk ke area Pura, kami disambut dengan gapura Candi Bentar. Gapura ini, menurut pendapat Widya, dari sisi arsitektur, bentuknya sangat khas Lombok. Di samping kiri kanan gapura, dua patung Dwarapala dari batu paras gagah menjaga gapura.
Di dalam Pura lebih menarik lagi, banyak ornamen dan patung bergaya Bali. Ada patung Buaya yang merupakan simbol Kerajaan Mataram. Mirip patung buaya di Perempatan Mataram kini. Ada juga patung Kuda yang dipercayai sebagai tempat moksanya putra Mahkota Mataram Anak Agung Ketut.
Selain itu di area paling bawah Pura terdapat patung unik sesosok mahluk menyeramkan. Lidahnya menjulur dengan taring keluar serta sebilah keris terselip di pinggangnya. Konon patung ini mirip dengan Ratu Gede Mas Mecaling, sosok yang cukup terkenal di Nusa Penida Bali.
Menurut catatan, Pura Gunung Sari sendiri adalah tempat peristirahatan putra Mahkota Mataram, Anak Agung Ketut.
Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace dalam Malay Archipelago sempat mengulas tempat ini. Dalam kunjungannya ke Lombok antara Juni-Juli 1856 ia singgah ke Gunung Sari bersama seorang bangsawan Mataram bernama Gusti Gde Oka dan seorang kapten kapal berbendera asing.

Wallace menceritakan sesampai di Pura Gunung Sari, ia masuk melalui pintu gerbang batu bata yang indah ditopang oleh patung dewa dewi Hindu.
Di dalam Pura terdapat pelataran berpagar dengan dua kolam ikan persegi empat. Di samping kolam, pohon pohon besar tumbuh dengan subur. Selanjutnya, di dalam Pura tersebut terdapat pintu gerbang lain menuju sebuah taman yang indah.
Di sebelah kanan taman, pada sebuah tempat yang agak tinggi, terdapat sebuah rumah batu bata, rumah itu menurut Wallace dibangun dengan arsitektur Hindu. Di samping kiri rumah, terdapat kolam ikan luas. Kolam ini terbuat dari batu dan bata. Air kolam disuplai dari sungai kecil, yang mana air itu keluar dari mulut patung buaya raksasa.
Di tengah kolam, pada tempat yang tinggi, terdapat paviliun cantik yang disekitarnya bertebaran patung patung indah berbagai ukuran. Di kolamnyya terdapat Ikan ikan cantik jinak. Selain ikan, rusa rusa yang jinak juga terdapat di sekitar kolam.
Selain Wallace, Dr.C.J Neeb juga pernah berkunjung ke Pura Gunung Sari. Kunjungan itu terjadi pada tahun 1895. Dalam bukanya, Naar Lombok, Neeb menyebut, saat kunjunganya ke Pura Gunung Sari tersebut, keadaan pura dan taman-tamannya masih terawat. Neeb juga menemukan suasana keindahan Pura Gunung Sari seperti digambarkan Wallace 39 tahun sebelumnya. Termasuk kawanan rusa jinak yang mengiasi taman hijau nan luas.
Bahkan, Neeb lebih jauh memuji, saat ia melihat area tidur putra mahkota yang mewah yang tertutup tirai. Dengan lanskap Gunung Sari yang demikian asri ia merasa tengah menyaksikan bahwa cerita tentang dongeng di Negeri Seribu Satu Malam itu benar adanya.
Sayang semua keindahan yang disaksikan Neeb dan Wallace itu tinggal cerita. Tak ada lagi taman luas berbukit dengan rusa-rusa jinak. Tak ada pula semburan mata air yang menyuplai air kolam dengan ikan aneka warna. Yang ada kini hanya sisa pura yang terkepung perumahan padat penduduk. Hampir tak ada bekas bahwa ini adalah salah satu taman hiburan keluarga Kerajaan Mataram yang paling kesohor. Tapi demikianlah sejarah.
Setelah puas diskusi dan mengabadikan gambar, acara ekskursi itu kami tutup dengan jamuan Gulai Bebek dan Ayam goreng di kediaman Haji Gazali. Kami bersepakat untuk melanjutkan ekskursi ke situs-situs lainnya di kemudian hari. Harapannya LHSS dapat ambil bagian dalam merekonstruksi ulang sejarah NTB sebagai agar generasi mendatang tak kheilangan akar sejarah.
*Penulis merupakan penggiat sejarah dari Lombok Heritage and Science Society (LHSS)