Hingga awal dekade 90-an, saat Lombok masih punya banyak bioskop ada sosok yang selalu ditunggu. Mobil keliling yang menyiarkan jadwal tayang film ke pelosok kampung. Namun perkembangan teknologi informasi telah mematikan usaha mereka.
————————————–
Deru mobil Daihatsu Hijet 55 menuju pedalaman Gunung Sari Lombok Barat. Roda menggerus jalanan tanah menyisakan debu menguar ke udara. Anak-anak kampung menyambut riang mengejar.
Sementara di sudut lain sejumlah orang tua nampak keluar dari pekarangan menengok ke jalanan. Ada pula yang sengaja menoleh dari balik jendela. Semuanya seperti terpanggil oleh pengumuman dari pengeras suara yang terikat di atas mobil.
Itu adalah mobil penyiar keliling jadwal film di bioskop malam ini. Di bangku belakang seorang anak kecil melempar selebaran film dari jendela. Kertas berhamburan menjadi rebutan warga sepanjang jalan. Bocah-bocah berlarian, jungkir balik berebutan, namun semuanya riang.
“Saksikan beramai-ramai, Saur Sepuh Satria Madangkara, malam ini dibintangi oleh Fendy Pradana..dan….,” kenang Rachmat Jafar, menirukan penyiar berbusa-busa di bangku depan mengabarkan film garapan sutradara Imam Tantowi.
Jafar adalah anak kecil di bangku belakang mobil itu. Dalam ingatannya adegan tersebut terjadi sekitar tahun 1988-1989. Ia, diajak kakak iparnya Agus Asmuni berkeliling Mataram hingga Lobar membagikan selebaran dan mengumumkan jadwal film yang akan diputar di bioskop.
Lombok hingga akhir dekade 90-an mempunyai banyak bioskop hampir di setiap kecamatan. Di Mataram saja ada Ramayana di perlimaan Ampenan, Irama di samping barat Kantor BRI Mataram, Rinjani di Sindu dan Gemini di Cakranegara, satu lagi Perumnas dan lainnya. Ini belum termasuk di kecamatan lain seperti Tanjung, Lombok Utara, Praya, Lombok Tengah dan di Lombok Timur.

Jadi, setiap hari orang-orang seperti Agus Asmuni, berkeliling hingga ke pedalaman untuk mewartakan jawal pemutaran film. Maklum zaman itu belum medsoa yang memungkinkan bioskop mengabarkan jadwal film secara cepat dan murah. Alhasil cara konvensional inilah yang ditempuh.
Agus menceritakan awal dekade 80-an Ia mulai ikut sebagai penyiar keliling untuk tetangganya di Kampung Melayu, Ampenan, almarhum H Akhmad Akeang. Semasa hidup Haji Akeang adalah pengusaha pemilik jaringan bioskop di Lombok. Setiap sore Agus muda mengendarai mobil hijaunya berkeliling dari kampung ke kampung. Ia sopir dan seorang rekannya sebagai penyiar.
“Saat itu kita digaji (bisa sampai) Rp 120 ribu sebulan,” sambut Agus mengenang pendapatan yang pernah ia dapat.
Selain menyiarkan jadwal Agus juga bertugas mengantarkan roll film. Ya, zaman itu film masih berbentuk pita dalam rol besar seperti nampan tebal. Belum ada teknologi penyimpanan digital seperti kini.
“ Jadi karena kita kerja disana, gampang kalau mau nonton film, tinggal masuk saja,” tutur Agus.
Namun cerita manis itu mulai meredup di penghujung dekade 90 an. Lesunya industri film nasional membuat jaringan bioskop-bioskop di tanah air gulung tikar. Di Mataram tercatat hanya Irama dan Gemini yang terakhir bertahan. Selebihnya sudah lebih dulu gulung layar.
Selain industri film yang moart-marit masuknya televisi murah asal Jepang membuat sarana hiburan makin terjangkau. Orang tak perlu lagi membayar mahal hanya sekedar menonton film.
Kemudian teknologi penyimpan film juga berkembang. Kaset video beredar disusul kemudian oleh cakram padat CD dan DVD. Teknologi ini benar-benar memudahkan orang menyaksikan film dengan cepat dan mudah. Sekali lagi, tanpa harus berlama-lama antre tiket di bioskop.

Awal Mula Bioskop Ampenan
Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950 menyebut bioskop hadir pertama kali di Indonesia di penghujung tahun 1900. Sekitar lima tahun setelah orang-orang di Amerika dan Eropa menemukan teknologi pembuatan gambar bergerak.
Kelahiran bioskop bukan tanpa tumbal. Ia perlahan mematikan pentas Toneel dan Komedi Stamboel, opera keliling yang sedang naik daun. Orang-orang lekas gandrung dan menyebut teknologi baru itu sebagai Gambar Idoep.
Surat kabar Bintang Betawi edisi Rabu 5 Desember 1900 memuat iklan penayangan film perdana di Hindia Belanda digelar di sebuah rumah di Tanah Abang, Jakarta. Kelak lokasi inilah yang menjadi bioskop pertama dengan nama The Roijal Bioscope atau Bioskop Kebon Jae, Tanah Abang. Dari sinilah bioskop menyebar ke penjuru nusantara.
Sementara itu di Ampenan, surat kabar Het Niews Van Den Daag terbitan Batavia edisi Kamis 20 Januari 1938 sempat menyinggung dibukanya sebuah Bioskop di Ampenan. Sebuah theatre pertama yang dibuat dalam gedung permanen. Dalam peresmiannya orang ramai datang dan tidak dipungut bayaran. Tak disebutkan dimana lokasi persis bioskop ini.
Namun demikian bioskop benar-benar diputar secara regular sejak tahun 1948. Chung Hua Theatre didirikan oleh seorang pengusaha Tionghoa. Dalam sebuah kolom reklame pada Telefoongids Bali en Lombok edisi 20 April 1949 disebutkan Chung Hua Theater merupakan jaringan dari United Cinema Combination wilayah Bali-Lombok yang berpusat di Denpasar. Jaringan ini meliputi Hollywood Theatre Denpasar, Maya Theatre Singaraja, Satya Theatre Bulelelng, Bali Baru Theatre Seririt, Corona Theatre Kelungkung dan Chung Hua Theatre Ampenan.
Kelak lokasi Chung Hua theatre ini lebih dikenal dengan nama Bioskop Ramayana hingga akhir dekade 90-an.
Bioskop ini sendiri menempati sebuah bangunan bergaya Art Deco berdiri di sisi utara Perlimaan Ampenan. Dalam sebuah foto dari Tropen Museum dari tahun 1948 bangunan ini sekaligus menjadi gedung perkempulan Marga Hakka.
Gedung putih menjulang dengan sebuah balkon setengah lingkaran di bagian atas. Poster-poster film Mandarin di dipajang di sisi kiri dan kanan. Kini bangunan ini sudah tiada berganti menjadi komplek pertokoan. Bangunan sezamannya yang masih utuh adalah Kantor Pegadaian yang berada persis di sisi timur bioskop.
Setelah Ramayana gulung layar satu persatu bioskop di Lombok berhenti beroperasi. Irama, Gemini, Perumnas dan bioskop lalainnya. Sempat beberapa kali bioskop sekala kecil di buka di awal 2000 an. Namun seluruhnya gagal.
Belakangan sejak 2015 sejumlah jaringan bioskop nasional membuka cabang di Mataram. XX1 di Lombok Epicentrum, CGV di Transmart, Cinemaxx di Lombok City Center Gerimak dan Cinepolis di Mataram Mall. Namun kondisi ekonomi yang diperparah oleh pandemi korona membuat mereka limbung. Dari semuanya baru XXI yang mencoba kembali buka. Dapatkah mereka bertahan? Biarlah zaman membuktikan.
*) Penulis : Zulhakim, penyuka seni dan budaya tinggal di Ampenan Lombok / Instagram @ kedjoule31
*) Sebagian naskah pertama kali dimuat di Koran Lombok Post Februari 2016