SELONG-Persoalan sampah di Lombok Timur belum juga terpecahkan. Salah satunya gunungan sampah di Pantai Labuhan Haji, Desa Labuhan Haji, Kecamatan Labuhan Haji. Pelaku usaha pariwisata Qory’ Bayyinaturrasyi asal Desa Labuhan Haji menerangkan, setiap musim penghujan, jumlah sampah di pantai Labuhan Haji akan bertambah.
“Karena sampah membeludak, kami di Sunrise Land Lombok harus mengupah petugas kebersihan Rp 85 ribu per hari,” kata Qory pada Lombok Post, Jumat (27/1).
Solusi mengatasi persoalan sampah di pantai Labuhan Haji selama ini tidak pernah dilakukan dengan benar. Buktinya sampai saat ini sampah masih menggunung. Tidak hanya di pesisir pantai, di mana-mana Labuhan Haji dipenuhi sampah. Seperti di jalan dan selokan. Menurut Qory, hal ini menunjukkan belum ada program atau kebijakan yang tepat dari pemkab.
Hal yang mesti dilakukan Pemkab Lotim bagi Qory adalah melakukan kajian antropologi dan sejarah. Dari hasil kajian tersebut akan didapatkan sebuah kebijakan yang tepat dalam menangani sampah secara menyeluruh. “Perbup pelarangan penggunaan plastik sekali pakai tidak didasari atas kajian itu. Hal ini terbukti dari penerapannya yang tidak menyeluruh,” tutur Direktur Sunrise Land Lombok Labuhan Haji itu.
Kajian antropologi dibutuhkan karena pemerintah tidak bisa memandang satu bentuk kebijakan untuk semua lapisan masyarakat. Di mana semestinya ada pembagian pada penerapan kebijakan tersebut. Master ilmu pariwisata itu mencotohkan, cara pandang dan kebiasaan hidup masyarakat pesisir dengan perkotaan sangat jauh berbeda.
Tentu kebijakan yang dibutuhkan atau harus diterapkan pemerintah juga harus berbeda. Begitu juga dengan adanya masyarakat di bantaran sungai yang cenderung beternak dan memahami sampah berbeda dengan masyarakat pesisir dan urban.
Sementara kajian sejarah dibutuhkan untuk mengetahui karakter masyarakat di suatu wilayah. Ini juga penting melihat bagaimana latar belakang kehidupan masyarakat. Penerapan pelarangan membuang sampah sembarangan tidak bisa dipukul rata. Kata Qory, pemerintah harus memahami kebiasaan masyarakat di suatu wilayah dengan baik. Sebelum menerapkan sebuah kebijakan.
“Pertanyaannya, mengapa masyarakat di Labuhan Haji tidak merasa terganggu dengan sampah yang dikatakan kiriman dari hulu itu. Di satu sisi, orang di perkotaan juga tentu tidak mau disalahkan,” ujar Qory’.
Jika mencari kambing hitam, maka pemerintah hanya akan mengadu domba masyarakat. Jalan keluar yang mesti dilakukan adalah dengan mulai melakukan pengkajian serius. “Karena satu-satunya yang dapat mengatasi persoalan sampah ini adalah sebuah kebijakan. Tidak bisa dengan gerakan-gerakan kecil masyarakat yang ujung-ujungnya membutuhkan campur tangan atau bantuan kekuasaan,” jelasnya.
Sebelumnya, koordinator jelajah sungai belimbing dari Ekspedisi Jelajah Sungai Nusantara (JSN) Muhammad Juaini menerangkan telah mengidentifikasi dampak sampah plastik terhadap air Sungai Belimbing di Labuhan Haji. Hal itu dilakukan sebagai kampanye mengajak komponen masyarakat Lotim untuk ikut menjaga sumber daya air dari sampah plastik.
Dari jelajah sungai tersebut, ditemukan beberapa fakta baru. Di antaranya, pertama tidak tersedianya tempat sampah dan sistem pengelolaan sampah yang memadai pada tiap Kelurahan/Desa. Hal itu menyebabkan warga Lotim memilih membuang sampah ke sungai.
Kedua, rendahnya kepedulian warga pada pentingnya fungsi sungai dan acuh pada dampak lingkungan sampah. Pihaknya menemukan tidak sedikit warga yang menjadikan sungai sebagai bak sampah.
Kata Juaini, sampah yang tercecer ditepi sungai terbawa arus menuju ke hilir hingga ke Labuhan Haji. “Sampah yang banyak kami jumpai adalah sachet atau kemasan kecil sebuah produk. Selain itu banyak juga sampah pakaian, sikat gigi, korek api, sandal sepatu, ban motor, plastik mika, dan popok,” terangnya. (tih/r5)