Ia meyakini, pemerintah tidak akan menerbitkan peraturan gubernur soal pengaturan tarif kamar hotel maupun sewa mobil. Soal harga kamar hotel, menurutnya ada dalam kewenangan pihak hotel yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Munawir menyebut, memang ini adalah bisnis, terlebih daerah sudah lama vakum akibat pandemi Covid-91. Namun perlu dipertimbangkan agar tidak ada muncul suara-suara sumbang yang kapok datang ke NTB akibat mahalnya harga kamar hotel.
Andaipun benar kamar hotel sudah full booked, sambungnya, tetap harus dilakukan investigasi lebih lanjut. Apakah langsung dilakukan tamu yang akan menginap atau justru segelintir orang yang mencoba mengambil kesempatan alias broker.
Pada Desember lalu, Dispar sempat melakukan rapat bersama sejumlah pelaku usaha perhotelan. Dari rapat tersebut, kata Yusron, pihak hotel menyebut harga kamar hotel hanya naik pada satu pekan saat MotoGP. Di luar event tersebut, pemasukan ke penginapan maupun usaha wisata minim. Kondisi ini turut menjadi pertimbangan Pemprov NTB untuk menerapkan kebijakan satu harga kamar hotel.
Dia juga khawatir, harga kamar hotel yang dipatok sangat tinggi akan menimbulkan preseden buruk bagi dunia pariwisata di NTB. Membuat wisatawan mengurungkan niatnya untuk menginap di hotel-hotel di Lombok maupun Sumbawa. Dan memilih untuk menginap di Bali.
MotoGP memang bisa menjadi magnet bagi kunjungan wisatawan ke NTB. Namun, ia melihat ada keganjilan dengan situasi harga kamar hotel yang terlampau mahal, hingga sudah tidak ada lagi kamar hotel bintang yang available.
Pemerintah provinsi juga perlu menjaga dan memperhatikan agar secara jangka panjang daya tarik kepariwisataan ini tetap terjaga di Bumi Gora ini. Jangan sampai terbangun citra kepariwisataan NTB itu mahal. Sementara di pulau sebelah dapat menawarkan yang lebih terjangkau.