GIRI MENANG–Banyaknya kasus pernikahan dini (merariq kodeq) di Lombok, mendorong salah satu NGO Rutgers WPF Indonesia bersama Plan International Indonesia berusaha menekan agar kasusnya berkurang.
“Pendekatan kami melalui program Yes I Do,” kata District Coordinator for Yes I Do Programme Lombok Barat Muhammad Rey Dwi Pangestu pada media, Selasa (22/9/2020).

Ia menjelaskan Program Yes I Do berfokus pada pencegahan perkawinan, kehamilan remaja, dan praktik berbahaya bagi kesehatan reproduksi anak perempuan. Program ini menyasar berbagai pemangku kepentingan dan kelompok di masyarakat. Mulai dari pemerintah desa, remaja, orang tua, guru, kepala sekolah, remaja di sekolah, bidan, puskesmas, sampai dengan OPD di tingkat kabupaten. Khusus di tahun 2016 hingga 2020 bekerja sama dengan Pemkab Lombok Barat.
“Khusus di Lobar terdapat SK dari Dikbud Lobar untuk memperbanyak jumlah SMP dalam memberikan pembelajaran kesehatan reproduksi yang komprehensif melalui modul setara. Total SMP yang mengadaptasi modul setara meningkat dari 4 SMP menjadi 9 SMP. Ini menandakan respons baik pemkab dan memiliki tujuan sama untuk menekan pernikahan usia dini,” terangnya.
Kasi Kesiswaan Dikbud Lobar Ahmad mengatakan, masuknya program ini membantu daerah untuk mencegah pernikahan anak usia dini. Pendekatan yang digunakan juga cukup familiar dan bisa diterima karena menggandeng semua unsur kepentingan.
“Walaupun Program Yes I Do selesai, kami akan melanjutkan untuk menggunakan Modul Setara pada pendidikan pengembangan diri. Karena dengan pendidikan siswa jadi memahami dan bisa menjaga dirinya karena telah mengenal dirinya, mengetahui batasannya,” jelasnya.
Guru SMP Islamhiya Uluhuddin Siti Raodah mengatakan, banyak hal positif setelah program Yes I Do dijalankan di sekolahnya. Anak-anak yang menikah di sekolahnya dirasakan mulai berkurang sejak program ini dimulai tahun 2016 lalu.
“Dulu setiap minggunya ada saja siswa berhenti sekolah karena alasan menikah,” tuturnya.
Tentunya ini sangat disayangkan karena menikah, siswa tidak dapat melanjutkan untuk mengenyam pendidikan. Masa depan anak jadi tidak jelas dengan kondisi ini.
“Setelah ada program ini, kami melihat siswa yang berhenti karena menikah berangsur berkurang. Jadi kami akan melanjutkan program pendidikan ini,” ujarnya.
Walaupun memang awal penerapan program ini masih cukup tabu. Khususnya pada pendidikan kesehatan reproduksi siswa. Namun pendidikan ini lengkap mengajarkan siswa untuk mengenal dirinya dan batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Semoga program ini bisa berlanjut,” harapnya. (nur/r10)